Mengeluh Dalam Tinjauan Tafsir

Mengeluh Dalam Tinjauan Tafsir

Mengeluh sebenarnya adalah hal normal yang dilakukan hampir semua orang. Mengeluh juga merupakan cara untuk mengekspresikan keluh kesah hati, sehingga tidak menjadi stres dan justru merusak kesehatan.

Menurut ahli kejiwaan, mengeluh merupakan salah satu bentuk “coping mechanism” untuk menghilangkan stres, seperti kecemasan atau rasa takut.

Lalu bagaimana pandangan tafsir Al-Qur'an terhadap perilaku mengeluh?

Keluhan dalam bahasa Arab disebut "asy-syakwa", "asy-syikayah" atau "syakwun". Menurut Imam ar-Raghib Al-Isfahani kata tersebut artinya adalah izhharul-batstsi, mengungkapkan kesusahan. Disebutkan dalam sebuah keterangan,

أن يقدم شخص لآخر مشكلته، وأن يبثه همومه، وأن يُظهر له ما في قلبه من أحزان، ويضع بين يديه ما يعانيه من آلام، بهدف الحصول على مساعدته .

"Mengeluh adalah seseorang menyampaikan masalahnya kepada orang lain, mengungkapkan beberapa kesusahan kepadanya, menunjukkan kesedihan-kesedihan di hatinya, dan meletakkan rasa sakit yang dideritanya kepada orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan pertolongannya."

Para ahli tafsir menyimpulkan, term "syakwa" berikut lafazh-lafazh musytaq-nya (derivasi) tidak disebutkan dalam Al-Qur’an kecuali dalam bentuk fi'il mudhari'. Dalam bentuk ini ia disebutkan dua kali:

Pertama, dalam kisah Nabi Ya'qub dan Nabi Yusuf 'alaihimassalam, tepatnya mengenai kesedihan Ya'qub karena berpisah dengan putranya (Yusuf a.s.). Perasaan Ya'qub teraduk-aduk ketika putra-putranya memberi tahu bahwa anaknya yang bernama Binyamin (menurut pendapat lain: Ibnu Yamin atau Ibnu Yamil) ditahan di Mesir, lalu beliau langsung ingat Yusuf putranya dan merasa sangat sedih sebab kehilangan kedua putranya tersebut, dan dia mengumumkan kesedihannya ini dengan mengatakan:

إِنَّمَآ أَشْكُوا۟ بَثِّى وَحُزْنِىٓ إِلَى ٱللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

"Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya". (QS. Yusuf [12]: 86)

Dari ayat ini kita bisa memahami bahwa Nabi Ya'qub tidak pernah mengadu segala keluh kesahnya kepada anak-anaknya, begitu juga kepada manusia yang lain.

Kedua, dalam kisah Khaulah binti Tsa'labah, tatkala suaminya yang bernama Aus bin ash-Shamit melakukan zhihar terhadapnya dengan mengatakan, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku,” dengan maksud tidak akan lagi menggauli istrinya sebagaimana ia tidak akan menggauli ibunya¹.

Dalam adat Jahiliah, kalimat zhihar seperti itu sama dengan menalak istri. Lalu Khaulah mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw. Rasulullah menjawab bahwa Allah belum menurunkan ketentuan hukum tentang zhihar. Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Engkau telah diharamkan bergaul dengan dia.” Khaulah lalu berkata, “Suamiku belum menyebut kata-kata talak.” Ia berulang kali mendesak Rasulullah agar menetapkan keputusan. Kejadian tersebut pada akhirnya menjadi asbabun-nuzul (sebab turunnya) ayat berikut:

قَدْ سَمِعَ اللّٰهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَتَشْتَكِيْٓ اِلَى اللّٰهِ  ۖوَاللّٰهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَاۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌۢ بَصِيْرٌ.

"Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Al-Mujadilah [58]: 1)

Ayat ini menerangkan, Allah telah menerima gugatan Khaulah bin Tsa'labah yang diajukan kepada Rasulullah saw. tentang tindakan suaminya. Ia merasa dirugikan oleh suaminya itu, karena zhihar berakibat hidupnya akan terkatung-katung. Oleh karena itu, Allah menurunkan hukum yang dapat menghilangkan kekhawatiran istri itu.

Jika kita mencermati ayat di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan berikut:

Pertama, keluhan semestinya ditujukan hanya kepada Tuhan saja, karena itu Khaulah mengajukan keluh kesahnya mengeluh kepada Allah ta'ala.

Kedua, pada ayat ini ada dua perbuatan yang dinisbatkan pada Khaulah:

1) Berdebat, di mana hal itu terjadi dengan Rasulullah sebagaimana ditunjukkan oleh lafazh "tujadiluka" (mengajukan gugatan kepada kamu);

2) Pengaduan keluh kesah, dan hal itu ditujukan kepada Allah sebagaimana ditunjukkan oleh lafazh "wa tasytaki ilallah" (dan mengadukan masalahnya kepada Allah).

Keluhan dari pihak yang mengadu harus didengarkan, dan permasalahannya harus segera diselesaikan. Dan selama keluh kesah Khaulah diajukan pada Allah, maka pasti Dia akan mendengarkannya dan menyelesaikan masalah peliknya. Hal ini diisyaratkan ayat di atas sebanyak tiga kali:

1) Dengan bentuk fi'il madhi: "qad sami'a", sungguh Allah mendengar;
2) Berbentuk fi'il mudhari': "Allahu yasma'u", Allah akan mendengar;
3) Dengan bentuk isim berupa shighat mubalaghah: "innallaha sami'un", sesungguhnya Allah mahamendengar.

Demikian ibrah yang bisa diambil dari ayat tersebut.

Di samping itu, berhubung ayat tersebut berbicara tentang Allah dan dalam konteks memuliakan-Nya, maka kata Allah di ayat itu diulangi empat kali.

Kesimpulannya, mengeluh (syakwa) dalam Al-Qur'an disebutkan dalam bentuk fi'il mudhari', dan hanya ditujukan pada Allah semata. Hal ini seolah memberitahu umat Islam secara tak langsung bahwa "jangan kauajukan semua keluhan-keluhanmu kecuali kepada Allah semata", karena pada hakikatnya yang paling berhak menjadi tempat segala keluh kesah dan yang mampu menyelesaikan semua masalah hanyalah Allah, bukan yang lain².

Hal ini tidak berarti seseorang tidak diperbolehkan mengeluh atau menceritakan masalahnya kepada orang lain secara mutlak. Dalam kasus mengeluh sendiri sebenarnya ada perincian hukumnya. Kita bisa menelaah spesifikasinya dalam at-Tafsir al-Munir karya Syekh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili (vol XIII/hlm. 57).

Dalam kitab tersebut Syekh Wahbah menjelaskan, dibolehkan mengadu pada saat kesusahan, yaitu kelaparan (dalam ungkapan lain: jika ada ghardhun shahih/tujuan yang dibenarkan agama). Bahkan dalam kasus tertentu wajib bagi seseorang jika takut akan celaka karena kemiskinan dan selainnya untuk mengungkapkan keadaannya kepada orang lain yang bisa diharapkan pertolongannya, sebagaimana ia wajib mengeluhkan sakitnya pada seorang dokter agar lekas mengobatinya, dan hal ini tidak bertentangan dengan sikap tawakal³.

Tentunya kebolehan ini berlaku apabila keluhan tersebut dilakukan bukan atas dasar benci pada takdir Allah ta'ala. Jika dasarnya adalah tidak rida dengan takdir-Nya, maka keluhan tersebut adalah haram.

Akhirnya, agar lebih bijak dalam menyikapi tindakan mengeluh ini alangkah baiknya kita membaca nasihat Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya'-nya:⁴

فالأحرى بالعبد إن لم يحسن الصبر على البلاء والقضاء وأفضى به الضعف إلى الشكوى أن تكون شكواه إلى الله تعالى فهو المبتلي والقادر على إزالة البلاء وذل العبد لمولاه عز والشكوى إلى غيره ذل وإظهار الذل للعبد مع كونه عبدا مثله ذل قبيح. اهـ. من الإحياء.

"Lebih pantas bagi seorang hamba, jika dia tidak bisa bersabar terhadap musibah dan ketentuan Tuhan dan kelemahan hatinya itu menuntut dia untuk mengeluh, agar keluhannya ditujukan kepada Allah ta'ala semata, karena Dialah yang menimpakan musibah dan yang mampu menghilangkan bala.  Ketundukan hamba pada Tuhannya adalah kemuliaan sedangkan mengeluh kepada selain Tuhannya adalah kehinaan, dan menampakkan kehinaan kepada hamba lain padahal hamba tersebut adalah hamba Allah juga seperti halnya dia itu merupakan kehinaan yang sangat jelek."

Tindakan mengeluh—meskipun dalam kondisi tertentu sah-sah saja dilakukan—akan tetapi tidak boleh dilakukan secara serampangan dan dikeluarkan secara berlebihan. Apa saja yang berlebihan itu tidak baik, termasuk mengeluh. Bahkan menurut ilmu kejiwaan ia menjadi pertanda negatif dari kesehatan mental seseorang jika keluhannya dilakukan melewati batas kewajaran. Hal ini karena manusia yang sehat jiwanya cenderung bisa menerima diri sendiri apa adanya, bisa menerima orang lain dan kondisi di sekitarnya apa adanya dan juga bersikap optimis. Sedangkan orang yang sering mengeluh, merasa tertekan, dan sering protes, orang tersebut bisa dicurigai memiliki masalah dengan kejiwaannya.

Selain itu, yang menjadi masalah juga bahwa kebanyakan orang lebih sering mengeluh dan lupa melakukan pemecahan masalah. Sebagai hasilnya, banyak orang mengeluh untuk melepaskan sesuatu, tetapi tidak menyelesaikan masalah atau membuat perubahan, sehingga membuat keluhan sama sekali tidak efektif. Masalahnya tetap ada, sehingga keluhan pun akan terus-menerus berlangsung.

Dari sini, sudah kita temukan alasan mengapa para ulama salaf berusaha menghindari tindakan mengeluh, sebagaimana penjelasan Ibnul-Jauzi berikut:

وقد كان السلف يكرهون الشكوى إلى الخلق، والشكوى وإن كان فيها راحة إلا أنها تدل على ضعف وذل والصبر عنها دليل على قوة وعز. اهـ. من الثبات عند الممات .

"Para ulama salaf tidaklah suka mengeluh kepada manusia. Tindakan mengeluh meskipun membawa kenyamanan hati, hal itu menunjukkan kelemahan dan kehinaan diri, sedangkan bersabar dari mengungkapkan keluhan adalah bukti kekuatan dan kemuliaan diri."⁵

Sekian.

-----------------------------
¹ Zhihar adalah ungkapan suami menyerupakan istrinya dengan salah seorang mahramnya, seperti ibu atau saudara perempuan. Di zaman Jahiliah, masyarakat Arab menganggap zhihar sebagai salah satu cara talak. Namun, syariat Islam menetapkan zhihar dengan ketentuan lain selain talak. (Lihat: Mushthafa al-Khin, al-Fiqh al-Manhaji, vol IV/hlm. 146)
² Lathaif Qur'aniyyah, hlm. 126—128.
³ Keterangan serupa juga didapati dalam al-Iklil fi Istinbathit-Tanzil karya Imam as-Suyuthi (vol I/hlm. 156), Aysarut-Tafasir karya Syekh Abu Bakar al-Jazari (vol II/hlm. 641), al-Jami' li Ahkamil-Qur'an karya Imam Syamsuddin al-Qurthubi (vol IX/hlm. 252) serta kitab-kitab tafsir lainnya. Di situ dijelaskan, boleh mengadu jika tujuannya untuk mengetahui keadaan yang perlu diperbaiki atau diobati.
⁴ Imam Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' 'Ulumiddin, vol IV/hlm. 84.
⁵ Ibnul-Jauzi, ats-Tsabat 'indal-Mamat, vol I/hlm. 55.

Share this Post